Sinden Lastri



Limbuk barusan keluar diikuti Cangik, penonton merangsek maju, dan segera ki dalang menyerahkan acara kepada Jogelo dan Joisin yang barusan naik panggung, para pesinden bergantian nembang berurutan dari tengah ke ujung. Ada 5 pesinden, namun pesinden paling ujung tampak gelisah, mempermainkan blackberynya dan sesekali menghela nafas panjang.
Aku semakin penasaran ada apa gerangan, dudukpun seperti beralaskan duri, kameraku terus jeprat jepret meski tanpaflash aku yakin dia mengetahui setiap gerakkanku.
Dia sesekali menatapku seakan minta bantuan dan sesekali mengikuti tembang, namun kegundahan begitu nampak, jari telunjuknya yang kanan dia gerak-gerakan seakan mengaharapkanku untuk mendekat, akupun maju dengan terus jeprat jepret biar tak ada yang curinga, aku mendekat genjot dan tepat disamping bawah pesiden yang memberi isyarat, meski alunan gamelan bertalu-talu  masih bisa dengan jelas apa yang dia bisikan ditelinga kananku.
“Aturno pak  dalang, aku puenting banget…….” bisik dia.
Aku memutar berjalan lewat belakang kelir, dan mendekati penabuh gender memohon untuk disampaikan pada dalang sesuai permintaan sinden paling ujung. Sementara sinden paling ujung tersebut masih saja mengawasi setiap gerakanku. Untung Jogelo dan Joisin mengambil alih peran dipanggung, dengan begitu tukang gender maju membisikan pada dalang. Dalangpun tanggap dan sambil gegojekan dengan dagelan memamitkan pesinden paling ujung.
“Nyuwun pangapunten simbok Limbuk, diajeng Lastri kasuwun bedol saking palenggahan,amargi ndoro adipati ngesarne gambaripun dipun photo….” Suara ki dalang memerankan Cangik.
“Iyo senduk Cangik, paringano dalan lan enggal jengkar soko palenggahan……” Suara ki dalang dengan suara yang agak besar memerankan Limbuk.
Dan pesinden paling ujung tersenyum pada penonton sambil menundukan kepala seakan pamitan, dan segera berjalan jongkok turun dari genjot ke arahku.
Aku masih bingung di memegangi lenganku menarik keluar.
“Aku terno mulih mas, penting banget…..” katanya lirih.
“La aku nunggang motor iki….” balesku.
“Gak popo ayo ndang metu kokene ….” katanya.
Aku segera berlari kecil mengambil motor yang aku taruh di dekat pahon mangga, belum sempat kustater dia sudah mbandol di boncenganku.
“Nrabas wae metu lor kuburanben cepet, aku terno menyang kostku daerah Sarpon ….”dia terus nerocos.
Akupun terus melaju lewat jalan-jalan sempit. Tangan kanannya perpegangan dipaha kananku sementara tangan kirinnya memegangi tasnya, badan dan dadanya menempel dipunggungku.
Harum parfum dan bunga melati disanggulnya perlahan menusuk hidungku, hembusan nafasnya terasa hangat dileher belakangku.
Namun kelamaan leherku basah dibarengi isak-nya. Aku hanya diam dan terus melaju sambil menikmati harum dan hangat dada wanita yang menempel dipunggungku.
Aku berkali-kali menghela nafas ketika tangan kanannya tak sengaja menekan paha dalamku. Antara malu dan bingung harus berbuat apa, sementara naluri lelakiku mulai menjalar mendekati ubun-ubun.
“Utara KUD belok kiri ya mas,rumah nomer 3 dari timur…” suara dia menembus keheningan. Aku hanya mengangguk tanpa menjawab dan belok ke arah yang dia mau. Dan mematikan mesin motor, diapun segera turun membuka resleting tas sebelah samping dan mengeluarkan anak kunci.
“Bukakno mas, aku aku tak nyopot sendal…..” dia segera membungkuk melepas alas kakinya dan menarik kembennya biar mudah melangkah.
“Sudah mbak, ini kuncinya….” sambil menyerahkan kuncinya,namun dia menggeleng. Dan akupun terpaksa ikut masuk ke dalam sambil membawakan tas dan sendalnya yang masih diluar.
Dia langsung tengkurap di sofa dan terus menangis, aku jadi bingung ditengah malam begini ada perempuan yang belum aku kenal menangis didepanku dan hanya ada dia dan aku, aku bingung dan takut dengan warga sekitar dikira ada apa-apa.
Ku bangunkan dia, dan kutenangkan dari tangisnya. Dia sandarkan kepalanya yang masih bersanggul di bahuku, dan hanya  sesenggukan tanpa suara.
Lagi-lagi harum tubuh dan melati di sanggulnya membangkitkan naluriku, badanku panas dingin dibuatnya, tanganku gemetar serasa ingin mengapai daging yang menonjol pada dada wanita ini, nafas panjang yang hanya bisa untuk mengendalikan diri. Dan wanita ini terus terisak pipinya menempel pada leherku, dan pelukannya semakin erat. Dalam keremangan bedaknya telah berlepotan dileher dan kaos oblongku. Dengan takut-takut aku memegang sanggul dan punggungnya.
“Sudah diem dulu,ayo diem dulu…….” Hiburku.
“Aku lebih baik mati mas daripada menanggung malu, calon bojoku gandrung karo sinden Caruban……” sambil terisak dia mulai cerita, sementara jam dinding mulai menunjukan jam 2 pagi.
Aku berdiri, dia pun berdiri dan kembali memelukku, aku jadi tidak bisa bergerak.
“Yo wis sanggule dilepas disik, gek diterusne crita…” aku terus menghiburnya.
Dia duduk di sofa dan kedu tangganya memengangi sanggulnya, dan nampak kesulitan mencari dan mencabut penjepit sanggulnya.
“Saklar lampunya mana?” tanyaku, dia hanya menunjuk dan ternyata saklar berada di tembok belakangku.
Byar…..
Ruang tamu jadi terang, dia menatapku akupun begitu. Hatiku berdesir, dia masih muda dan cantik meski lipstic dan bedaknya berlepotan.
Tiba-tiba dia tersenyum sambil menunjuk leher dan pipiku yang berlepotan bedak dan lipstiknya, akupun tersenyum dan mendekat menghampirinya dan mencabuti pejepit rambut yang ada di kepalanya.
Huh…… dengan masih duduk di sofa dia menempelkan kepalanya dibagian perutku, untuk memudahkan aku melepas kondenya. Satu  persatu penjepit bisa kulepas, namun lagi-lagi wajahnya yang menempel di perut bawahku membuat ngos-ngosan.
Setelah konde berhasil aku lepas dan segera aku taruh dimeja, wow cantik sekali tanpa konde, rambutnya yang mekar lekuk-lekuk pipinya semakin nampak. Ingin sekali aku memeluk dan menciumnya, tapi ndak berani.
“Yowis aku tak pulang dulu, wis meh subuh, gak penak yen dilihat orang. “ aku pamitan.
“Ojo sik to mas…..” cegah dia.
“Yo wis besok tak ke sini lagi… “ janjiku.
“Ndak percaya….., kecuali kamerane buat jaminan….” Licik dia.
“Ya sudah kamera tak tinggal di sini tak ambil besok atau lusa.” Jawabku.
Dia langsung memelukku, dan senyumnya berkembang.
“Kamu cantik….” Aku memuji
“Tukang potho iki yo gantheng, masio kumise sak lengen…. “ kata dia sambil mencubit pahaku.
Aku segera keluar, dan segera menstater motor dan segara mencari masjid untuk cuci muka sekalian menunggu subuh.
Untuk membaca karya teman-teman lainnya silahkan ke sini :Fiksiana-Cominity

Komentar

Postingan Populer